Reputasi bangsa tidak selalu dibentuk oleh laporan diplomatik atau angka ekonomi. Kadang ia lahir dari denting gondang di tepian Danau Toba, aroma sate lilit di festival kuliner Ubud, atau pekik sorak Pacu Jalur yang membelah Sungai Batang Kuantan.
Oleh: Akhmad Zulfikri, Penikmat Wisata, Budaya, Kuliner, dan Olahraga
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Indonesia adalah negara dengan kekayaan yang luar biasa, dan itu bukan sekadar jargon nasionalisme. Keindahan dan keberagaman ini bisa kita saksikan bersama terhampar nyata dalam budaya, alam, dan semangat masyarakatnya. Negeri ini adalah panggung besar yang layak diperhitungkan dunia, asalkan kita tahu kapan dan di mana harus menyalakan lampu sorotnya.
Reputasi sebuah bangsa tidak selalu dibentuk oleh laporan diplomatik atau angka-angka ekonomi. Kadang ia justru lahir dari denting gondang di tepian Danau Toba, dari aroma sate lilit yang mengepul di festival kuliner Ubud, dari hentakan kaki penari Saman di Gayo Lues, atau dari pekik sorak dan gestur Pacu Jalur yang membelah Sungai Batang Kuantan dalam balutan semangat kolektif dan warisan budaya yang hidup.
Pacu Jalur adalah contoh sempurna bagaimana tradisi lokal bisa menjadi peristiwa global. Lomba perahu panjang yang penuh warna ini bukan sekadar hiburan tahunan, tapi manifestasi dari gotong royong, strategi, estetika, dan sportivitas masyarakat. Di situlah dunia ingin tahu siapa kita, bukan dari definisi resmi, tapi dari denyut otentik kehidupan budaya kita.
Indonesia tidak pernah hadir dalam satu rasa atau satu warna. Ia hadir sebagai mozaik budaya, alam, rasa, dan semangat yang saling menyatu. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah sukses menggelar berbagai ajang internasional Asian Games 2018, MotoGP Mandalika, FIBA World Cup 2023, World Beach Games 2023, hingga F1 Power Boat. Dunia melihat bahwa Indonesia tidak hanya punya potensi tetapi kita juga punya karakter.
Dalam dunia kuliner, Indonesia pun bersinar. Dari Ubud Food Festival, Jakarta Culinary Festival, hingga F8 Makassar yang memadukan makanan, fashion, film, dan budaya pop.Semuanya bukan sekadar ajang promosi produk, tetapi bentuk diplomasi rasa. Kuliner kita adalah cerita yang bisa dimakan. Setiap rasa adalah pengantar menuju pemahaman lintas budaya, dan setiap gigitan menyampaikan pesan tentang siapa kita dan dari mana kita berasal.
Di ranah destinasi, nama-nama seperti Raja Ampat, Labuan Bajo, Tana Toraja, Dieng, Wakatobi, hingga Belitung tak lagi sekadar cantik di katalog pariwisata. Mereka menjadi magnet dunia karena lanskap yang masih perawan dan kearifan lokal yang tetap hidup. Ketika orang datang bukan hanya untuk berfoto, tapi untuk memahami dan meresapi, di situlah reputasi sejati dibentuk.
Begitu hati ini terkagum-kagum melihat Festival Lembah Baliem di Papua. Tarian Perang, nyanyian leluhur, dan alam yang agung membuat saya tersadar: reputasi bangsa bukan dibangun dari cahaya gemerlap kota besar, tapi dari titik-titik kecil yang jujur, tulus, dan penuh nilai.
Menghidupkan Reputasi
Sebagai brother of the world, saya percaya bahwa budaya dan pariwisata bukan sekadar sektor ekonomi melainkan jembatan antarbangsa. Mereka membuka ruang-ruang empati, penghargaan, dan pemahaman yang justru semakin langka di dunia yang penuh hiruk-pikuk.
Reputasi bangsa tidak dibentuk hanya oleh pemerintah atau media. Ia hidup dari keseharian kita, dari cara kita menyambut tamu, dari keramahan di jalan, dari unggahan yang jujur di media sosial, dari komitmen untuk merawat warisan entah itu berupa kuliner rumahan, cerita rakyat, atau produk UMKM lokal.
Kita bisa mulai dari hal sederhana,menjadi penonton yang tertib di festival daerah, membagikan cerita tentang kuliner kampung halaman, atau mendukung pelaksanaan event budaya walau hanya dengan menjadi bagian dari penonton yang peduli. Percayalah, semua itu akan kembali pada satu tujuan menempatkan Indonesia di mata dunia bukan hanya sebagai destinasi, tapi sebagai rumah yang penuh jiwa.
Sebagai pegiat komunikasi dan pariwisata, saya percaya bahwa kekuatan narasi bangsa ada di tangan kita semua. Indonesia hari ini tidak hanya butuh destinasi baru, tapi butuh warga yang mencintai tanah airnya dengan bangga dan konsisten dalam kata, dalam rasa, dan dalam sikap.
Karena menjadi Indonesia, sejatinya bukan hanya tentang keindahan alam dan budaya, tapi tentang bagaimana kita memperlakukan diri sendiri dan bagaimana kita menyambut dunia dengan sepenuh hati.