Pentingnya Komunikasi Krisis, Belajar dari Insiden Pendaki Brasil di Rinjani
PRINDONESIA.CO | Rabu, 02/07/2025
Pentingnya Komunikasi Krisis, Belajar dari Insiden Pendaki Brasil di Rinjani
Persiapan evakuasi jenazah pendaki Juliana Marins oleh Tim SAR gabungan di kawasan Gunung Rinjani Lombok, NTB, 24 Juni 2025.
doc/Humas SAR Mataram

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Gunung Rinjani kembali mencuri perhatian dunia. Namun, kali ini bukan karena pesona keindahannya, melainkan tragedi yang melibatkan pendaki asal Brasil. Seperti diketahui, beberapa waktu lalu pendaki Juliana Marins dikabarkan terperosok  ke jurang curam di gunung berketinggian 3.726 meter tersebut, dan dievakuasi dalam keadaan meninggal dunia.

Tragedi tersebut menjadi viral hingga ke dunia internasional. Sebagian besar warganet menilai Pemerintah Indonesia dan otoritas terkait lamban merespons kecelakaan yang terjadi. Mayoritas berpendapat, jika evakuasi dilakukan segera maka Juliana dapat dievakuasi dalam keadaan selamat. Sebab, sebuah kamera drone yang diterbangkan pendaki lain sempat menangkap pergerakan Juliana beberapa saat setelah terperosok.

Tagar #SaveJuliana pun mendunia. Akun media sosial Badan SAR Nasional (Basarnas) dan Presiden Prabowo bahkan dihujani komentar yang menuntut transparansi kejelasan dan tindakan. Dalam konteks krisis komunikasi, persepsi publik yang terlanjur terbentuk tentang insiden yang terjadi melalui narasi yang bertebaran, menandakan lambannya pemerintah dan otoritas terkait dalam merilis pernyataan resmi.

Menurut dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Hari Eko Purwanto, hal tersebut dapat ditinjau dengan teori agenda setting McCombs dan Shaw. Dalam hal ini, media tidak menentukan apa yang harus dipikirkan publik, tetapi menentukan apa yang dianggap penting oleh publik. “Dalam kasus Juliana, perhatian media dan masyarakat muncul setelah topik ini viral secara internasional. Praktisnya, perhatian institusi bergerak mengikuti tekanan digital, bukan karena sistem yang berjalan otomatis,” tulisnya dalam artikel yang terbit di Republika.co.id, Selasa (1/7/2025).

Eko menilai, ketidakhadiran komunikasi yang cepat, akurat, dan terbuka, menunjukkan lemahnya pengelolaan krisis. Hal tersebut, katanya, memberi ruang bagi aktor nonresmi seperti relawan, pendaki, dan content creator untuk menjadi sumber informasi utama. Mengutip Coombs (2012), ia menjabarkan, respons terhadap situasi krisis seharusnya dilakukan secara cepat, akurat, dan terbuka. “Jika ketiga elemen ini tidak hadir sejak awal, maka ruang tersebut akan kosong dan membuat opini publik secara liar dan penuh kecurigaan,” paparnya.

Tata Kelola Krisis Lincah dan Empatik

Belajar dari peristiwa tersebut, Eko menekankan, komunikasi sejatinya bukan pelengkap dari aksi, tetapi bagian dari aksi itu sendiri. Di era digital sekarang, publik tidak lagi menunggu konferensi pers untuk mendapatkan informasi. Mereka akan menggali informasi di linimasa, dan membentuk opini dari potongan konten yang tersebar. “Ketika publik merasa didiamkan, maka mereka akan berbicara sendiri. Dan suara netizen, apalagi dalam jumlah masif dan lintas negara, bisa jauh lebih bising daripada megafon institusi mana pun,” tegasnya.

Eko juga mengingatkan pentingnya tata kelola krisis yang lincah dan empatik, khususnya dalam mengomunikasikan krisis. Dalam hal ini, menurutnya, komunikasi yang dilakukan tidak melulu hanya soal prosedur, tetapi juga nurani. “Kepercayaan publik bukan dibangun lewat seremonial, tapi lewat ketulusan, ketepatan, dan kehadiran yang nyata baik di lapangan maupun di layar-layar kecil kita,” tutupnya. (eda)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI