Menurut analis komunikasi politik Hendri Satrio, kegagalan membangun komunikasi berisiko memperburuk dinamika di dalam kabinet dan memicu masalah yang seharusnya dapat dihindari.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Beberapa waktu terakhir media sosial diramaikan oleh kasus Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek yang sedianya berada di wilayah administrasi Provinsi Aceh, masuk ke Provinsi Sumatera Utara (Sumut) lewat keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang terbit pada 25 April lalu.
Analis komunikasi politik sekaligus konsultan politik KedaiKOPI Hendri Satrio mengatakan, polemik yang mencuat sejatinya disebabkan oleh buruknya komunikasi Tito. Indikasinya, terang pria yang karib disapa Hensa itu, turun tangannya Presiden Prabowo Subianto untuk menyelesaikan permasalahan.
“Kalau komunikasi dilakukan dengan baik, masalah ini dapat selesai di level menteri. Seharusnya, Mendagri melakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh Aceh sebelum mengeluarkan keputusan,” ujarnya terlansir dalam Investor.id, Senin (16/6/2025).
Perbaikan Komunikasi
Menurut alumnus Universitas Indonesia itu, komunikasi yang buruk terkait persoalan empat pulau ini tidak hanya memicu konflik, tetapi juga membebani Presiden Prabowo yang seharusnya dapat fokus pada agenda strategis nasional, tanpa perlu direpotkan oleh ketidakmampuan para menterinya dalam berkomunikasi.
“Sejak awal komunikasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi kabinet Prabowo, kegagalan membangun komunikasi berisiko memperburuk dinamika di dalam kabinet dan memicu masalah yang seharusnya dapat dihindari,” jelasnya.
Hensa pun menyarankan agar para menteri dapat memperbaiki komunikasi, dan lebih cermat dalam pengambilan keputusan. Pandangan itu selaras dengan apa yang disampaikan pendiri sekaligus CEO etKomunika Herry Ginanjar.
Dijelaskannya dalam artikel di majalah PR INDONESIA edisi 112/Januari-Februari, seorang pemimpin perlu mempertimbangkan keputusan untuk melayani para stakeholder secara adil agar mendapatkan dukungan jangka panjang. Dalam konteks polemik ini, para menteri harus memiliki kemampuan negosiasi yang kuat dengan melakukan dialog dan konsesi, guna menemukan keuntungan atau kesepakatan bersama tanpa mengarah pada konflik. (eda)