Chief Marketing & Communications Officer University of Memphis Michele Erhart meyakini, diam bukanlah bentuk netralitas, tetapi justru akan memberi ruang bagi publik untuk menciptakan narasi sendiri dan berujung merugikan organisasi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Dalam mengelola komunikasi krisis, waktu adalah segalanya. Namun, di era sekarang banyak organisasi justru memilih diam seolah tidak ada pertanyaan yang perlu dijawab. Padahal, sikap diam, jawaban “no comment”, atau lambatnya respons, justru hanya akan membuka ruang bagi publik untuk menciptakan narasi tersendiri.
Sebagaimana terjadi pada tahun 2023, ketika Airlangga Hartarto yang menjabat Ketua Umum Partai Golkar menolak berkomentar terkait dugaan keterlibatan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo sebagai kader partainya, dalam kasus korupsi menara BTS 46. Jawaban “No comment, terima kasih,” yang diberikan Airlangga ketika ditanya wartawan kala itu, justru membuat publik beranggapan bahwa ada sesuatu yang tengah ditutupi.
Ditegaskan oleh Chief Marketing & Communications Officer University of Memphis Michele Ehrhart, sikap diam ketika krisis hanya akan menciptakan cerita baru yang tidak bisa dikendalikan. Oleh karena itu, katanya, penting bagi praktisi public relations (PR) untuk memahami lima prinsip komunikasi krisis berikut agar tidak terjebak dalam “krisis keheningan”.
Dilansir dari PR Daily, Selasa (7/10/2025), berikut uraiannya.
1. Manfaatkan “Golden Hour” dengan Cermat
Ehrhart menekankan pentingnya memanfaatkan golden hour, atau periode kritis tepat setelah krisis terjadi ketika publik menunggu kejelasan. Periode waktu tersebut, katanya, adalah penentu apakah reputasi bisa diselamatkan atau justru sebaliknya. “Tidak harus bisa menjawab semua pertanyaan. Setidaknya, pernyataan awal (holding statement) yang menyatakan tim sedang mengumpulkan informasi dan akan memberikan pembaruan resmi segera, harus disampaikan untuk menunjukkan tanggung jawab dan kepemimpinan,” ujarnya.
2. “No Comment” Bukan Jawaban yang Aman
Di tengah derasnya arus informasi dan opini publik yang penuh spekulasi, jawaban “no comment”, menurut Ehrhart, hanya akan memperburuk keadaan. Dalam konteks ini, ia menjelaskan, respons yang lambat atau kabur akan memunculkan keraguan. Sebaliknya, komunikasi yang cepat, jujur, empatik, dan konsisten, dapat menunjukkan bahwa organisasi hadir, peduli dan mampu bertanggung jawab mengendalikan situasi.
3. Siapkan Rencana Sebelum Krisis Terjadi
Komunikasi krisis tidak bisa dilakukan secara spontan. Oleh karena itu, tegas Ehrhart, diperlukan adanya perencanaan matang melalui crisis simulation, pembentukan tim tanggap krisis, dan naskah komunikasi yang dapat disesuaikan.
4. Tunjukkan Empati
Di tengah tekanan publik, Ehrhart mengingatkan praktisi PR untuk senantiasa berpegang teguh pada fakta, transparansi, dan empati. “Meski belum semua informasi tersedia, tetapi kejujuran dan rasa empati terhadap pihak terdampak akan lebih diingat publik dibanding sekadar pernyataan kaku dan dingin,” pesannya.
Dengan mengadopsi kelima prinsip komunikasi krisis di atas, diharapkan praktisi PR dapat menghadapi krisis dengan baik. Semoga bermanfaat, ya! (EDA)