Bisnis dan Sosial Makin Melebur
PRINDONESIA.CO | Minggu, 02/10/2016
Bisnis dan Sosial Makin Melebur

Bukan lagi korporasi yang murni berbisnis, bukan juga organisasi non-profit yang hanya fokus melakukan program sosial. Bukan pula korporasi yang tetap menjalankan aktivitas bisnis, namun disisi lain, membangun yayasan (foundation) untuk menyalurkan agenda CSR perusahaan.

Mengapa demikian? Menurut Stephanie Hermawan, dalam pertemuan Filantropi Indonesia yang berlangsung di Jakarta, akhir Juli lalu, perkembangan tersebut terbentuk seiring tuntutan zaman. Termasuk salah satunya, tuntutan dari para millennials, generasi yang akan menjadi pemimpin di masa depan. “Ada tren perilaku yang mengarah kepada: mereka mau membeli produk apabila perusahaan yang bersangkutan doing goods,” ujar founder Arbor & Troy. Ya, masyarakat kian kritis. Rumus making money by doing goods, rather than making money by whatever it takes, berlaku di sini.

Jadi, perusahaan yang hanya fokus mengambil keuntungan (business as usual/traditional business) terlihat kian membosankan. Indikator Kinerja Utama-nya hanya satu, financial return. Untuk menjawab permintaan itu dan agar perusahaannya tetap berkelanjutan, korporasi umumnya membentuk yayasan atau CSR foundation.  

Nasib serupa dialami pelaku traditional charity. Aktivitasnya berjalan terseok. Sebab pada dasarnya “mengemis” terus itu tidak mengenakkan. Sekarang, mereka mulai menjual produk dan memberikan pelayanan. Tapi ketika menjalankannya, ternyata tidak mudah. “Selama ini, sektor profit selalu dikaitkan sebagai problem creator. Sebaliknya, organisasi non-profit sebagai problem solver,” katanya.

Menuju Keseimbangan

Perlahan-lahan, para pelaku bisnis tradisional maupun organisasi non-profit yang tampak bagai dua sisi mata uang itu mulai berjalan ke tengah. Stephanie menyebutnya, balance profit and purpose business. “Pada titik ini, ketika kita melakukan bisnis, di waktu bersamaan, kita juga membantu banyak orang. Kedua aktivitas itu tidak lagi berjalan sendiri-sendiri,” ujarnya. “Lihatlah cara para start-up—yang mereka tak lain adalah generasi millennials—memulai bisnisnya. Jadi, why can’t we do both?” tambah Stephanie seraya bertanya.

The Body Shop, perusahaan asal Inggris yang bergerak di bidang produk kosmetik dan skincare berbahan baku alami yang dikenal ramah lingkungan, adalah contoh perusahaan yang telah melakukan balance profit and purpose business. Pendirinya, Anita Roddick, mungkin tidak menyadari, bahkan tidak tahu soal prinsip itu. Yang pasti, sedari awal memulai usaha, ia justru memilih jalur yang rumit.

Bayangkan, perempuan yang juga dikenal sebagai aktivis Greenpeace tersebut memilih membeli, mengolah bahan baku dan merangkul tenaga kerja perempuan dari negara-negara berkembang ketimbang dari pabrik. Padahal pabrik menjamin kualitas lebih baik, harga lebih murah dan siap kapanpun menyediakan bahan baku dalam jumlah besar. Pengorbanannya yang luar biasa sampai mengundang tanya di benak ayah Stephanie, Hermawan Kertajaya sang CEO MarkPlus Inc,  yang bertemu dengan Anita di suatu kesempatan. “Jadi, Anda itu aktivis atau business woman?” Anita pun menjawab singkat: “I am both.

Jika diistilahkan, praktik bisnis yang dilakukan Anita termasuk kategori social entrepreneurship. “Kelak ketika bisnis kita tidak berkontribusi mengubah dunia menjadi lebih baik, kita tidak akan punya tenaga kerja—tidak ada yang mau bekerja dan bekerja sama dengan kita—dan kita tidak akan punya customer,” pungkasnya. rtn  

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI