Gerakan “Ini Baru Indonesia”: Mempiarkan Fondasi Kebangsaan
PRINDONESIA.CO | Minggu, 02/10/2016 | 1.121
Gerakan “Ini Baru Indonesia”:  Mempiarkan Fondasi Kebangsaan

Ma’ruf Cahyono - Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

 

Bagaimana strategi MPR mengomunikasikan dua hal itu, inovasi apa saja yang sudah dilakukan? Untuk mengetahuinya, Asmono Wikan, Lila Intana, dan Sekhudin dari Majalah PR INDONESIA berbincang dengan Sekretaris Jenderal MPR Ma’ruf Cahyono di kantornya, Kompleks  MPR RI, Senayan, Jakarta (1/8/2016). Berikut petikannya.

Isu empat pilar kini makin kencang didengungkan MPR, sebenarnya apa konsen utama MPR terkait hal itu?

Konsen MPR tentu tidak terlepas dari wewenang dan tugasnya. Wewenang itu eksplisit diatur dalam pasal 3 UUD 1945. Pertama, mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar (UUD); kedua, melantik presiden dan wakil presiden; dan, ketiga, memberhentikan presiden apabila tidak sesuai dengan UUD. Kemudian kaitannya dengan empat pilar kebangsaan, sejak tahun 2014 ada amanat UU No 17 tahun 2014 pasal 5 huruf  a, b, c, dan d yang menyatakan bahwa MPR bertugas untuk memasyarakatkan ketetapan MPR yang intinya memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Lalu, melakukan pengkajian terhadap sistem ketatanegaraan, konstitusi, dan implementasinya. Terakhir, menyerap aspirasi masyarakat.

Nah, empat pilar ini kaitannya dengan empat hal yang mendasar yang sebenarnya eksplisit dalam huruf b-nya. Tetapi, tentu karena MPR mempunyai produk Tap MPR dan itu masih berlaku berdasarkan UU No 12 tahun 2011, hierarkinya, kan, setelah UUD ada Tap MPR. Tap MPR itu isinya sangat esensial dan mendasar. Karena posisi Tap adalah sebagai aturan pokok yang melengkapi UUD. Begitu dihidupkan otomatis itu adalah pengayaan dari UUD yang belum tertampung. Oleh karena itu, kewajiban dari MPR untuk memasyarakatkan.

Empat pilar MPR itu adalah satu metode agar amanat UU memasyarakatkannya mudah diterima oleh masyarakat. Makanya kami menggunakan satu terminologi tersebut (Empat Pilar MPR). Ini merupakan tugas yang tidak boleh berhenti selama bangsa ini masih ada. Sebab setiap bangsa memiliki prinsip kehidupan bernegara. Kalau kita lihat tentu sudah tertampung semuanya dalam empat pilar itu.

Soal ideologi, penyadaran konstitusi, pengokohan NKRI, serta kesadaran berbhinneka itu, kan, perlu rekayasa, perlu engineering, perlu pembumian. Inilah makanya MPR harus memiliki satu posisi untuk melaksanakan itu dengan sungguh-sungguh dan tanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab konstitusi tapi saya kira setiap anggota MPR punya tanggung jawab moral.

Ini yang saya maksud pentingnya empat pilar itu harus sampai ke masyarakat dari generasi ke generasi tidak boleh berhenti.  Begitu Empat Pilar tidak disampaikan, kita semua akan kehilangan karakter, padahal karakter suatu bangsa adalah hidupnya bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, MPR memiliki posisi yang penting dalam melaksanakan tugas itu, di samping tugas-tugas konstitusional yang saya sampaikan tadi soal kewenangan mengubah dan menetapkan UUD.

Bolehkah disebut Empat Pilar sebagai produk utama MPR saat ini?

Ya, memang itu sudah dibahas sejak era Pak Taufik Kiemas, waktu itu namanya Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Memang munculnya dari sana. Bahkan, kalau nanti Anda lihat sekarang sudah eksplisit bunyinya Empat Pilar, sekarang namanya Empat Pilar MPR.

Empat Pilar tidak sekadar menjadi terminologi yang sudah menjadi bahasa sosial tapi memang bahasa hukum dan suatu kebutuhan. Esensinya adalah suatu kebutuhan, soal nama boleh apa saja, boleh menambah dengan pilar-pilar lain, tapi kita ingin setidaknya empat pilar itu. Bukan berarti pilar lain tidak penting, tapi semuanya sudah masuk ke sana.

Dulu, kan, persoalannya orang melihat seolah Pancasila, UUD, NKRI disejajarkan. Sekarang di Empat Pilar MPR tegas disampaikan eksplisit mendetail bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

Ibarat bisnis, bagaimana memasarkan Empat Pilar MPR?

Dalam konteks “menjual”, tentu kita mencoba melakukan berbagai terobosan dengan berbagai metode untuk internalisasi atau dalam bahasa UU cara pemasyarakatan, atau dalam bahasa umumnya sosialisasi Empar Pilar MPR. Kita lakukan pada segmentasi tertentu disesuaikan dengan kapasitas, sumber daya, dan sebagainya. Tapi sesungguhnya tanggung jawabnya seluruh segmen harus disentuh karena itu kewajiban dari anggota MPR. Oleh karena itu, ada alat kelengkapan di MPR yang disebut Badan Sosialisasi yang melaksanakan tugas-tugas (sosialisasi Empat Pilar MPR) itu. Badan ini terdiri dari 45 orang anggota dari berbagai fraksi, dengan masa jabatan 5 tahun.

Badan Sosialisasi inilah yang kemudian bertugas memasyarakatkan Empat Pilar MPR, menciptakan metode-metode yang tepat sesuai dengan sasaran. Pertama, anggota MPR menjadi narasumber sosialisasi. Kita juga ingin punya narasumber lainnya, kegiatan untuk melaksanakan training of trainers (ToT) untuk menciptakan narasumber baru dan itu menyentuh berbagai lapisan masyarakat karena sudah dilaksanakan bertahun-tahun.

Misalnya, kelompok akademisi dikumpulkan untuk dididik selama empat hari untuk menjadi trainer atau narasumber. Kelompok strategis lain seperti para santri (keagamaan), di jajaran TNI, Polri, dan seluruh dari lembaga negara, jadi ToT ini sudah dilakukan cukup lama dan kita punya kader-kader yang disiapkan untuk menjadi kepanjangan tangan dari MPR. Sekarang istilahnya narasumber bukan penatar. Kita gunakan istilah yang umum agar tidak kontroversi.

Lebih konkretnya apa saja yang sudah dilakukan untuk mengkomunikasikan Empat Pilar MPR ke berbagai segmen masyarakat?

Kita datang ke berbagai segmen di tengah masyarakat. Di kampus melalui seminar, goes to campus. Kepada masyarakat umum, semua segmen kita sentuh, termasuk daerah pemilihan anggota DPR/DPD, jadi setiap anggota akan menyampaikan itu di tiap dapilnya.

Kalau dalam setahun kita punya program enam kali ke daerah dari berbagai partai, bisa dibayangkan jumlahnya, karena setiap anggota punya konstituen. Banyumas, misalnya, ada dari PAN, Demokrat, PKS, mereka turun menemui konstituen. Bisa juga yang visi kebangsaannya khusus soal kepartaian, yang dikumpulkan pokoknya masyarakat. Berarti seluruh segmen tersentuh.

Ada juga lomba cerdas cermat SMA, lomba debat konstitusi buat mahasiswa, itu juga dalam rangka sosialisasi Empat Pilar MPR. Ada juga FGD, simulasi, bahkan animasi, filler, kita ciptakan. Bahkan kita kumpulkan para netizen untuk sosialisasi empat pilar.

Bagaimana merangkul stakeholders khususnya mereka yang punya akses ke media, supaya branding Empat Pilar lebih tepat sasaran?

Pertama, tentu sejumlah strategi sudah disampaikan seperti melalui pendekatan regulasi mulai dari UU, Tatib, dan instruksi presiden. Kedua, pendekatan kapasitas SDM kita agar mampu memenuhi sasaran yang kita tetapkan. Ketiga, melalui kemitraan dalam rangka membangun jaringan yang memiliki dampak multiplier. Itu kita lakukan baik yang dekat dengan komunitas media maupun tidak. Kalau kaitannya dengan media tentu bentuk kemitraan itu ada yang karena kita punya sumber daya untuk melakukan itu maupun voluntary dari mereka. Banyak cara kita tempuh, tanpa harus dengan cara mengeluarkan sumber daya yang besar.

Media cetak, on-line, penyiaran, menjadi basis sosialisasi karena itu muncul sejumlah program seperti media partner. Dalam mengelola media partner banyak caranya, baik melalui internalisasi visi dan misi MPR maupun berdiskusi dengan teman media. Harapannya, efek event lebih besar. Kita tempatkan pemberitaan di media itu, baik televisi maupun on-line. Bahkan dengan media on-line, terus-menerus kita lakukan sesuai kemampuan. Pada saat kita ada kegiatan, yang hadir bukan hanya para jurnalis dari media yang kita ajak kerjasama, tapi pemberitaan ternyata ada di media-media lain.

Di kalangan netizen dan blogger apa yang dilakukan?

Pertama, membangun pola pikir bersama-sama agar memiliki persepsi sama tentang MPR, merancang kesadaran para netizen bahwa ini tanggung jawab bersama kita. Dari situ kita minta peran serta mereka untuk mendukung tugas-tugas MPR. Yang penting mereka paham bahwa soal kebangsaan tidak boleh berhenti. Saya bersyukur responsnya cukup banyak, bahkan ada beberapa yang punya inisiatif sendiri khusus untuk Empat Pilar, dan menulis dengan caranya sendiri dari bahasa kaku hingga bahasa guyon.

MPR termasuk lembaga yang nyaman tanpa gejolak, tapi, kan, tidak ada lembaga yang tidak punya potensi krisis. Bagaimana Anda mengantisipasi kalau terjadi krisis di MPR?

MPR ini lembaga yang ruang gerak kewenanganya sesuatu yang bersifat mendasar, umum, dan lebih banyak ke arah sistem nilai, regulasi dasar supaya bisa diterapkan di mana-mana. Jadi kalau dilihat dari tugasnya memang tidak berpotensi terjadi konflik kepentingan. Ini merupakan modal dasar, suatu kondisi existing yang potensi krisisnya kecil karena tidak terkait public interest. Kita tidak punya kewenangan untuk meregulasi sesuatu kebijakan yang berdampak puas atau tidak puasnya masyarakat.

Tetapi mungkin saja krisis itu bisa terjadi. Tentu, negara punya aturan main dan yang tertinggi adalah konstitusi. Semuanya sudah ada kerangka dan normanya. Kalau dulu ada yang mengatakan politik adalah panglima, itu tidak benar dalam negara hukum. Kalau bicara hukum sebagai panglima, itu yang benar karena kita negara hukum. Negara kita demokrasi konstitusional.

Apa challenge yang penting diperhatikan ke depan, di kala kita sepakat untuk hidup di alam demokrasi?

Bicara tugas MPR kan bicara multidimensi urusan masyarakat dan bangsa. MPR tidak hanya aktif melakukan kegiatan yang terencana tapi juga aktif merespon apa yang berkembang di masyarakat (kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Tapi tidak semua fenomena relevan. Oleh karena itu persoalan itu menjadi domain MPR. Tentu dengan cara-cara yang tidak menimbulkan persoalan baru, tapi juga mendinginkan, harus teduh dan sejuk. Karena ini kumpulan sistem nilai yang ditegakkan. Semua sistem nilai ada di sini, nilai kebhinnekaan, lima prinsip Pancasila itu yang harus ditegakkan.

Jadi terkait sitem nilai pertama sebagai bangsa yang religius kalau ada intoleransi yang terlalu tajam ya tugas MPR untuk turun. Ada suatu perilaku yang tidak manusiawi yang melanggar HAM, MPR juga turun. Pada saat ada suatu konflik kepentingan yang sampai mengancam persatuan, ya, MPR juga turun. Atau, ada ketidakadilan yang tajam dan mendasar, ya, MPR turun.

Apa terobosan MPR di periode 2014-2019?

Kita melakukan terobosan tidak ingin menyampaikan Empat Pilar secara kaku, atau hanya normatif, dan konsep saja. Ada banyak proposal tentang sosialisasi Pancasila (dan Empat Pilar MPR) masuk ke MPR. Itu luar biasa. Itu indikator bahwa Pancasila sesungguhnya tidak harus kita ingat-ingatkan secara berlebihan. Sekarang mereka sudah muncul sendiri. Ini indikator bahwa stimulan yang dilakukan MPR bekerja. Itu contoh yang jelas. Proposal yang datang ke sini ribuan dari komunitas muda, perempuan, dan sebagainya. Kita ingin suatu metode (sosialisasi Empat Pilar MPR) yang lebih aplikatif. Mulai materi hingga narasumber. Makanya pada tahun lalu (2015) dicanangkan gerakan “Ini Baru Indonesia”.

Kita ingin bentuk-bentuk implementasi Empat Pilar yang lebih mengena. Kalau ada suatu perbuatan menyimpang tidak sesuati dengan sistem nilai kita, itu bukan Indonesia kita. Jadi kalau ada anak yang menemukan dompet tidak dikembalikan, artinya itu bukan (budaya) Indonesia. Anak yang bicara dengan orang tua dengan membentak itu bukan Indonesia. Tidak minta maaf itu bukan Indonesia. Kalau musyawarah banting-banting kursi itu bukan Indonesia.

Jadi kampanye Ini Baru Indonesia sudah berjalan?

Sudah berjalan tapi belum maksimal karena keterbatasan sumberdaya, baik orang maupun dana.  Tapi tidak apa-apa yang namanya perjuangan itu harus terus dilakukan. Nah gerakan “Ini Baru Indonesia” dicanangkan pada saat peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2015 di Blitar oleh Presiden Joko Widodo. Kalau dirangkum itu ada manifesto gerakan “Ini Baru Indonesia”. Kewajiban kita semua untuk menerjemahkan itu dalam program-program.

Ini sudah menjadi brand MPR, siapapun yang mendiskusikan pasti MPR yang membuat, karena pikiran itu muncul dari mana-mana, kemudian dipadu jadi satu muncullah manifesto gerakan “Ini Baru Indonesia”. Banyak anggota masyarakat yang tersentuh jika membaca manifesto ini. Karena manifestoini merefleksikan masalah masa kini dan keinginan kita melihat Indonesia ke depan yang tidak boleh pudar nilai-nilainya. Bahkan di sela-sela saya membaca ada orang yang menangis, histeris, bertepuk tangan karena menghayati sekali isi manifesto tadi.

Pada saat kita katakan “musyawarah di atas amarah”, itu kita ingat anggota DPR yang jungkir balik nendang meja. Kita ingat suami istri yang berantem, berdiskusi harus saling tonjok, itu bukan Indonesia. Jadi kalau kita mampu membuat suatu penjabaran dari manifesto itu dan bisa ditularkan dalam hidup berindonesia, itu akan menarik sekali.

Ini menarik jika dikaitkan dengan apa yang sering dikatakan presiden menjahit kembali baju keindonesiaan yang robek, pudarnya tata nilai dibangkitkan kembali dengan cara baru. Bolehkah ini dikatakan sebagai cara baru MPR menginternalisasi sistem nilai?

Saya kira seperti itu, pengayaan dari metode yang sudah ada, ya, baru juga. Ini sudah setahun sejak 2015, hasilnya yang bisa merasakan masyarakat. Tapi, tentu saja respons dari materi yang positif itu bagian dari indikator yang bisa mengingatkan kita semua, saya kira suatu stimulan kesadaran yang positif. Siswa-siswi SMA kalau mendengar itu mereka berpikir ke depan, mereka tidak mau menjadi generasi yang bukan Indonesia. Itu rancangan yang luar biasa.

Apa yang Anda harapkan dari komunitas PR di Indonesia supaya mereka bisa juga menjadi lokomotif dari internalisasi empat pilar MPR?

PR di manapun mempunyai tugas mulia, sebagai penyampai pesan, soal moral dan lainnya. Artinya, dia punya posisi yang penting. Karena itu, seorang PR akan optimal melaksanakan profesinya jika mempunyai spirit. Saya kira spirit itu yang harus dibangun oleh praktisi PR kita, karena dimensi profesi  humas, kan, luas. Saya berkepentingan agar semua humas di mana pun memiliki spirit yang sama dengan spirit MPR dan elemen bangsa yang lain. (nif)

 

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI