Esensi “Stakeholders Mapping”
PRINDONESIA.CO | Kamis, 14/11/2019 | 9.707
Esensi “Stakeholders Mapping”
Pada saat hendak memetakan pemangku kepentingan, perusahaan kerap terjebak oleh beberapa bias. Antara lain, power bias, interest bias, elite bias, dan purpose bias.
Dok. Pribadi

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Untuk itu, sudah seharusnya korporasi melakukan pemetaan pemangku kepentingan. Teori yang dikenal dengan istilah stakeholders mapping ini dimulai dari pertanyaan: cara dan saluran apa yang paling ampuh ketika perusahaan akan membangun relasi dan berkomunikasi dengan pemangku kepentingan kunci?

Untuk bisa sampai ke sana, perusahaan harus terlebih dulu menentukan tujuan  yang ingin dicapai dan mengidentifikasi isu yang akan muncul ketika akan mencapai tujuan tersebut. Lalu, memahami dan menentukan siapa stakeholders yang dinilai penting karena dapat dipengaruhi dan memengaruhi tujuan strategis perusahaan sehingga harus mereka ajak berkomunikasi.

Menurut Presiden Direktur dan Principal Consultant Kiroyan Partners Public Affairs Anton Rizki Sulaiman, teori yang muncul pertama kali dari ilmu manajemen ini bertujuan untuk menentukan dan memetakan siapa saja stakeholders yang bisa memengaruhi pencapaian dari tujuan yang sudah ditetapkan perusahaan tadi. Ditemui PR INDONESIA di kantornya di Jakarta, Senin (27/5/2019), ia mengulas beberapa manfaat stakeholders mapping.

Pertama, perusahaan memiliki dan mampu menjaga keunggulan kompetitifnya. Kedua, tahu siapa yang harus mereka perhatikan, terutama saat menunaikan program tanggung jawab sosial perusahaan. Dan ketiga, perusahaan lebih fokus dalam membangun dan menjalin hubungan dengan stakeholders kunci. “Alhasil, perusahaan bisa lebih tepat dalam menentukan isu dan publik yang harus disasar. Mereka juga dapat menggunakan anggaran dan resources seefektif mungkin,” katanya.

 

Bias

Namun, bukan perkara mudah memetakan pemangku kepentingan. Ini dikarenakan perusahaan kerap terjebak oleh beberapa bias. Antara lain, power bias, interest bias, elite bias, dan purpose bias. Power bias terjadi karena ada mitos yang diyakini perusahaan terhadap seseorang yang dianggap memiliki kekuatan besar dan bisa memengaruhi aktivitas bisnis. Sementara interest bias terjadi ketika perusahaan menganggap penting stakeholders tertentu karena yang bersangkutan sering ditemui. Misal, bagi public relations (PR), media adalah stakeholders utama karena sering berinteraksi. Lain lagi dengan divisi HR. Mereka lebih memilih serikat pekerja sebagai stakeholders prioritas.

Adapun elite bias tumbuh karena ketokohan atau jabatan strategis seseorang. “Kadang kita hanya membangun relasi dengan pemimpinnya karena dianggap sudah mewakili anggotanya. Padahal tidak selalu begitu,” kata Anton seraya menekankan membangun relasi ke bawah juga sama pentingnya. Terakhir, purpose bias atau cenderung memberikan perhatian lebih kepada pihak yang memiliki andil besar di belakang perusahaan.

Agar tidak terjebak ke dalam bias, perusahaan harus fokus dengan tujuan yang sudah ditetapkan. Nah, di sinilah peran PR. “PR adalah mulut dan telinga perusahaan,” ujar peraih gelar Licencié en Science Politique, Université Libre de Bruxelles, Brussels, Belgia ini. Mereka jugalah yang bertugas memberikan masukan (insight). Serta, bersamasama manajemen memahami dan menyeimbangkan berbagai interest dari banyak divisi/departemen, termasuk shareholders.

Untuk itu, perlu ada direktur komunikasi di dalam board room yang berperan mengatur hubungan perusahaan sebagai institusi ke stakeholders maupun arah komunikasinya. Yang pasti stakeholder mapping bukanlah kegiatan yang dilakukan sekali, lalu dianggap selesai. Melainkan, akan dilakukan lagi apabila perusahaan dihadapkan oleh suatu isu atau memiliki tujuan baru yang ingin dicapai. Contoh, peluncuran produk baru. “Stakeholders mapping tidak melekat. Ia dapat disesuaikan tergantung tujuannya,” tutupnya. (rtn)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI