Society 5.0, Era “Best Fits” bukan “Best Practice”
PRINDONESIA.CO | Rabu, 27/03/2019 | 6.332
Society 5.0, Era “Best Fits” bukan “Best Practice”
Di era serba digital seperti sekarang ini, konsep banchmark/best practice dianggap sudah tidak relevan.
Rizqi/PR INDONESIA

BANDUNG, PRINDONESIA.CO – Ketika kita mulai berbicara mengenai isu Society 5.0 yang sedang berkembang pesat di Jepang, maka Indonesia harus terlebih dahulu bercermin. Sudah sejauh manakah tingkat efisiensi, produktifitas, hingga perkembangan ekonomi kita? Apakah sudah dapat dikatakan stabil seperti di Negeri Sakura, atau sebaliknya?

Menurutnya, di era serba digital seperti sekarang ini, konsep banchmark/best practice dianggap sudah tidak relevan. Sebab, tidak semua best practice akan cocok bila diterapkan ke dalam suatu organisasi. “Jepang adalah negara yang secara efisiensi produksi sudah sangat stabil. Kita kebalikannya,” ujar Jemy seraya menambahkan bahwa cepat atau lambat Indonesia pun akan menuju ke arah sana. Tetapi dengan catatan: menerapkan best fits, bukan best practice.

Society 5.0 dapat dikatakan sebagai gabungan teknologi level tinggi seperti big data, internet of things (IoT) dan artificial intelligance (AI). Jika ketiganya digabungkan dapat menghasilkan human settle technology best concept. Artinya, teknologi yang dihasilkan akan sangat bermanfaat serta ramah dalam menunjang kebutuhan manusia. Termasuk, dalam hal memudahkan aktivitas penduduk berusia senja.

Jika saat ini manusia cenderung terbatas dalam mengakses informasi dan pengetahuan, maka segalanya akan menjadi lebih mudah ketika IoT hadir di dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal tersebut berdampak pula terhadap permasalahan sosial yang dihadapi. “Nanti, isu-isu sosial akan ditangani oleh manusia yang berkolaborasi dengan mesin/komputer,” ujarnya. Lainnya adalah, ketika saat ini masyarakat masih harus melakukan kerja-kerja berat, maka ketika AI sudah mulai berkembang, pekerjaan yang menghabiskan banyak energi akan digantikan oleh robot atau yang biasa kita kenal dengan otomatisasi.

Menjawab Tantangan

Segala kemudahan yang ditawarkan oleh Society 5.0 memang terdengar sangat menggiurkan. Namun, perlu kita sadari bahwa kondisi industri di Indonesia sendiri masih perlu melakukan banyak penyesuaian terhadap perkembangan teknologi di era Revolusi Industri 4.0.

Pernyataan Jemy bukan tanpa alasan. Pertama, terkait masalah infrastruktur. Harus diakui bahwa dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan akses internet di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sayangnya, pertumbuhan tersebut tak merata. Kedua, kondisi geografis Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau. Selanjutnya, tingginya disparitas teknologi. “Ada yang sangat paham teknologi. Sebaliknya, ada yang sama sekali tidak paham tentang teknologi. Ini merupakan tantangan,” katanya. Terakhir, masalah transparansi implementasi teknologi.

Jemy melanjutkan, sebenarnya di luar dari tantangan yang terkait dengan kondisi internal bangsa Indonesia, saat ini kita sedang berhadapan dengan lima isu global. Antara lain, asimetri, disrupsi, usia, populasi, dan kepercayaan. Untuk dapat menaklukan beragam tantangan tersebut, ia mengimbau agar praktisi public relations (PR) mampu mempersiapkan diri. Terutama, dalam hal memperkuat sektor Revolusi Industri 4.0 yang menjadi pemicu lahirnya era Society 5.0.

Adapun strategi untuk menjawab tantangan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengatasi asimetri dengan akses, memandang disrupsi sebagai peluang berinovasi, mengimbangi pertumbuhan usia tua dengan mengajarkan nilai moral, kejujuran, dan dedikasi sejak usia dini, serta melawan populisme dengan menciptakan kebersamaan. Maksudnya, pendekatan politik yang seolah-olah mengedepankan kepentingan rakyat, padahal sesungguhnya untuk kepentingan kelompok elit tertentu. (ais)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
image profile
canis
Just Another Me Around the World.
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI