Almira Shinantya, DM ID Brand Consultant: PR Adalah Suara Merek
PRINDONESIA.CO | Selasa, 26/03/2019 | 3.049
Almira Shinantya, DM ID Brand Consultant: PR Adalah Suara Merek
Brand Reputation itu seperti manusia. Keduanya sama-sama mempunyai nilai hidup, tujuan hidup, brand essence, brand vision, dan behaviour identity.
Hendra/PR Indonesia

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kepada Ratna Kartika, perempuan kelahiran 1983 itu mengaku karena pemahaman publik yang masih minim terhadap brand, hingga saat ini ia bersama timnya terus berjuang mengedukasi publik, khususnya instansi/perusahaan, tentang pentingnya menjaga reputasi sebuah brand. Menurutnya, brand reputation itu harus dipahami secara menyeluruh dan mengena ke semua pihak baik internal maupun eksternal. Rebranding juga tak melulu identik dengan mengubah logo. “Fokus utamanya adalah strengthening instead of changing,” katanya, tegas. Berikut kutipannya.

Apakah brand reputation menurut Anda?

Sebetulnya, brand reputation itu seperti manusia. Keduanya sama-sama mempunyai nilai hidup, tujuan hidup, brand essence, brand vision, dan behaviour identity. Bagaimana cara kita berperilaku, sampai cara kita berpakaian itu masuk ke dalam visual identitiy.

Apa yang orang-orang bicarakan tentang kita ketika kita tidak sedang berada di ruangan, itulah reputasi kita sebenarnya. Sebab, saat orang lain membicarakan kita di depan kita, bisa jadi benar, bisa juga tidak. 

Sama halnya seperti kita membicarakan suatu brand. Bagaimana brand itu berbicara, di saluran apa saja mereka berkomunikasi, bahkan bagaimana brand tersebut melakukan bisnis pun akhirnya membentuk sebuah reputasi. Jadi, ada banyak faktor yang akhirnya memengaruhi brand reputation.

Itu artinya, brand reputation yang ingin dibentuk suatu perusahaan harus merasuk ke semua lini internal?

Iya. Kami juga selalu bilang, suara terkuat dari identitas suatu brand itu sebetulnya datang dari internal perusahaan. Kalau tim internalnya tidak believe (percaya), percuma kita mau beriklan. Apalagi kalau perusahaan tersebut adalah perusahaan nation wide yang punya cabang di mana-mana dan karyawannya ribuan.

Jadi, membangun brand reputation itu harus dipahami secara menyeluruh dan mengena ke semua poin, baik itu internal maupun eksternal. Eksternal bisa kita lihat dari digital channel, billboard, dan sebagainya. Tapi, kalau internal itu menyangkut komunikasi internal yang terbangun di perusahaan itu dan bagaimana kalangan internal mengerti tentang what does their brand stands for.

Bagaimana cara Anda dan tim mendiagnosis suatu masalah yang dialami perusahaan?

Langkah pertama sudah pasti kami akan menanyakan apa tantangan mereka, isu yang sedang dihadapi, dan hal apa yang mau dicapai. Kalau, misalnya, persepsi suatu brand terkait sudah sangat negatif, kami akan mengusulkan untuk melakukan perubahan. Bahkan, sampai perubahan yang paling drastis seperti changing brandmark hingga naming.

Ada klien kami yang sampai harus ganti nama karena persepsi brand-nya sudah sangat negatif. Mereka pun melakukan transformasi 180 derajat. Tapi, ada juga klien yang brand-nya tetap kami pertahankan karena ekuitas brand yang mereka miliki sebenarnya masih besar, tinggal diinfus atau diberi suntikan dengan strategi-strategi baru. 

Ketika terjadi krisis, seberapa besar dampaknya terhadap brand?

Yang pasti memengaruhi brand. Ketika terjadi krisis, lingkaran pertama yang harus kita jaga itu sebenarnya kalangan internal sebagai garda terdepan. Pastikan yang di dalam solid setelah itu baru kita bicara ke luar. Contoh, kalau terjadi korupsi, oknumnya harus ditindak tegas. Ada tindakan-tindakan yang harus dikomunikasikan dengan baik dan secara tepat disampaikan kepada  tim internal. Hal ini agar internal aware bahwa perusahaan melakukan atau menindaklanjuti sesuatu jika terjadi hal yang tidak sesuai pada jalurnya. Mereka akan melihat seberapa profesional dan serius perusahaan mengelola krisis.   

Lalu, bagaimana strategi menyelamatkan merek atau reputasi brand ke luar? Apakah cukup hanya dengan beriklan atau mengeluarkan pernyataan untuk meyakinkan publik?

Kalau menurut saya, tidak ada salahnya beriklan. Tapi, harus dilandasi oleh strategi komunikasi yang menyeluruh. Bahkan, sebelum masuk ke strategi komunikasi, perusahaan itu juga harus berkaca dulu untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi inti masalah. Apakah masalahnya bersumber dari segi produk atau layanan yang kurang baik, dan sebagainya.

Percuma kalau langsung beriklan atau bahkan ganti logo kalau inti masalahnya tidak diperbaiki dan konsumen masih mendapatkan masalah yang sama. Nantinya, malah akan menjadi bumerang. Setelah ditemukan inti masalahnya lalu diperbaiki, pelan-pelan kita bangun lagi kepercayaan publik.

Dengan cara apa kita membangun kepercayaan?

Kita lihat dulu. Contoh, persepsi terhadap suatu brand sudah negatif, kita pelajari penyebabnya, dan cari kata-kata kunci persepsi negatif yang harus kita ubah dan perbaiki. Dari situ kita akan tahu positioning brand kita seperti apa, kemudian menyusun strategi komunikasinya. Apakah harus mengomunikasikan produk terlebih dahulu, skill, atau menyampaikan benefit yang bisa konsumen dapatkan, rasakan dan lihat langsung dari brand kita.

Di mana peran PR dalam mengelola brand reputation?

PR adalah garda terdepan. Mereka adalah the sound of the brand. Kalau brand itu kita analogikan sebagai manusia, maka manusia itu pasti berbicara. Kalau di suatu perusahaan atau brand, yang berbicara pastinya PR. Berbicara dalam arti bagaimana spoken words, written words, hingga body language. Semua itu bagian dari PR.

Sebab, tidak peduli seberapa bagus dan besar tampilan visual suatu brand atau perusahaan, tapi kalau orang yang di dalamnya tidak merepresentasikan hal tersebut mulai dari tata bahasa sampai perilakunya tidak profesional, maka kesan dari suatu brand akan langsung berubah secara personal.   

Reputation is all about trust. Kepercayaan brand harus dibangun lagi lewat aktivitas, pernyataan, dan aksi. Jadi, kalau persepsi terhadap brand sudah negatif, biaya yang harus dikeluarkan itu mahal sekali. Mereka juga harus melakukan reinvestasi iklan. Maka, salah bicara sedikit itu bahaya. 

Dalam mengelola reputasi suatu brand tak terlepas dari dukungan internal. Bagaimana cara PR merangkul internal?

Inilah tantangannya. Apalagi sekarang semua orang bermedia sosial. Susah sekali bagi perusahaan, apalagi PR untuk mengontrolnya. Kalau suatu perusahaan memiliki ribuan karyawan, sudah pasti mereka harus membuat yang namanya kebijakan perusahaan. Contoh, aturan tidak boleh mengunggah tweet yang berpotensi menciderai reputasi perusahaan/brand. Tapi, bagaimana kalau yang bersangkutan sudah tidak lagi bekerja di perusahaan, kemudian dia ‘bersuara’ tentang perusahaan ke luar? Itu artinya, PR harus mampu merangkul internal secara emosional.

Apa kendala yang biasanya dihadapi saat membangun brand?

Implementasi. Karena setelah enam bulan sampai setahun kita berinteraksi dengan top hingga middle management, biasanya mereka sudah mengerti. Tapi begitu menggetoktularkan ke cabang-cabang, di sinilah tantangannya. Kalau kondisinya seperti itu, biasanya kami melakukan sosialisasi sekaligus training of trainers (ToT). Namun, apakah mereka menyampaikan dan melatih kembali orang-orang di bawahnya, atau bersedia melaporkan kendala yang dihadapi di lapangan? 

Apa pengalaman yang paling menarik dan menantang selama menjadi brand consultant?

Yang paling menantang itu kalau internal apalagi top management-nya tidak believe. Banyak kasus keinginan untuk berubah (brand) itu justru datangnya dari kalangan middle management. Jadi, kami kerap diminta untuk melakukan sharing session/knowlegde perihal branding dengan direksi. Kami berusaha untuk meyakinkan mereka bahwa agar perusahaan tetap dapat keep up dengan perubahan yang sedang terjadi, kami mengajak mereka meraih kesempatan baru untuk masa depan yang lebih baik. 

Kompetensi apa yang harus dimiliki seorang konsultan brand? Apakah dia harus detail freak seperti Anda?

Ha-ha-ha! Memangnya saya dikenal sebagai detail freak, ya? Tapi memang benar, bagi orang branding, detail itu penting karena it tells a lot. Kalau kita tidak memikirkan sampai hal yang kecil, akhirnya bisa menjadi tidak konsisten dan pesannya kemana-mana. Saya enggak sendiri, kok. Di mana-mana yang namanya desainer itu pasti detail oriented. Tapi, kalau dalam kehidupan pribadi, saya enggak gitu-gitu amat, kok. He-he-he. 

Selain itu?

Yang pasti, mereka juga harus memiliki strategic thinking dan analitical skill yang baik. Kita harus bisa memprediksi suatu brand akan menjadi seperti apa ke depannya. Prediksi itu didasari dari data, kondisi di lapangan, visi dari top management untuk kemudian kita ramu sedemikian rupa sehingga menemukan rumusan yang baru.  

Mereka juga harus memiliki daya imajinasi yang tinggi, tapi tetap relevan ketika diimplementasikan. Ditambah, harus memiliki design taste yang bagus. Tidak perlu harus menjadi brand designer, tapi setidaknya kita tahu apa yang baik dan tidak berdasarkan brand asset yang dimiliki perusahaan. 

Apa hobi Anda?

Art design akan selalu menjadi passion saya. Saya juga suka membuat patung dari tanah liat dan membuat expressive painting. Tapi, karena anak-anak saya masih kecil dan sedang membutuhkan banyak perhatian, saya belum memiliki waktu untuk mengasah hobi itu. 

Mimpi apa yang ingin dicapai?

Saya ini sebenarnya ingin sekali keliling dunia. Tapi untuk mencapainya sekarang belum memungkinkan. Saya berpikir, kalau saya terlalu ambisius dalam mengejar sesuatu, pada akhirnya akan ada banyak hal yang harus kita korbankan. Tapi, saya yakin mimpi-mimpi itu akan datang tepat pada waktunya. Jadi untuk sekarang, mimpi adalah mimpi, asalkan saya bahagia luar dan dalam.  (rtn)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI