Dalam meramu kisah dan identitas brand yang menarik memerlukan dua hal. Yakni, pemahaman tentang esensi brand dan penentuan target audiens.
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO – Berbicara tentang brand, memang tidak terlepas dari audiens. Ya, beberapa brand kuat masih bertahan hingga saat ini karena memiliki hubungan yang lekat dengan audiens. Adapun rahasianya adalah brand memiliki keterhubungan (relatable), mudah diingat (memorable), persuasif, konsisten, dan relevan dengan audiens.
Untuk itu, sebelum membangun brand yang kuat, penting untuk menemukan keunikan brand dan mengenal audiens. Hal ini diungkapkan oleh Direktur LSP Manajemen Komunikasi Magdalena Wenas saat mengisi workshop Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #9 bertajuk “Strategic PR: Crafting Brand Narratives for Impactful Influence” di Yogyakarta, Kamis (26/10/2023).
Menurut perempuan yang karib disapa Magda tersebut, langkah pertama yang dapat dilakukan oleh PR untuk menemukan keunikan dari merek adalah mengidentifikasi potensi organisasi dan pasar. Caranya, melakukan analisis strength, weakness, opportunity, threat (SWOT). Untuk menemukan keunikan brand, praktisi komunikasi juga dapat melakukan analisis politic, economic, social, technology, environment, legal (PESTEL).
Tahapan selanjutnya, mengenal audiens, termasuk kekhawatiran mereka. Terutama kekhawatiran soal rasa takut, frustrasi, dan kecemasan. Ketiga hal ini merupakan audience pain. Audience pain ini, kata perempuan lulusan Erasmus University Rotterdam, yang harus diubah menjadi audience gain. Audience gain ini meliputi kebutuhan, keinginan, dan impian.
Sementara untuk membangun brand, beberapa fase yang mesti dilakukan meliputi membangun brand promises, brand personality, identitas visual, kanal efektif, hingga advokasi. Brand promise adalah janji atau keuntungan yang ditawarkan oleh brand kepada audiens. Sedangkan brand personality merupakan karakter manusia yang melekat pada brand. Sementara identitas visual bermakna identitas suatu brand yang bisa diterima secara visual, seperti warna dan logo.
Magda tak lupa berpesan agar praktisi PR juga cermat dalam pemilihan kanal yang efektif dalam mengomunikasikan brand. Yakni dengan menyamakan persepsi antara brand dengan publik. Terakhir, advokasi. Menurutnya PR INDONESIA Guru tersebut, advokasi adalah tindakan-tindakan dari brand yang bersifat kemanusiaan.
Personifikasi
Kepada 30 peserta workshop, Magda menekankan peran PR mempermudah audiens dalam memahami brand dengan cara merancang brand persona. Pemilihan brand persona ini bisa mengacu pada 12 arkatipe merek (brand archetype). Yakni, konsep yang dikembangkan oleh Carl Jung, psikolog asal Swiss, yang merujuk pada pola pikir atau karakteristik yang terkait dengan kepribadian manusia dan dapat diidentifikasi dalam merek atau perusahaan.
Dua belas arkatipe itu antara lain, the outlaw (liberation/pembebasan), the magician (power/kekuatan), the hero (mastery/penguasaan), the regular guy (belonging/penerimaan), the Innocent (safety/keamanan), the sage (understanding/pemahaman), the caregiver (service/pelayanan), the ruler (control/kontrol), dan the creator (inovation/inovasi).
Agar lebih dapat mendalami tentang brand persona ini, Magda selanjutnya membagi peserta ke dalam enam grup untuk melakukan simulasi. Dalam sesi praktik tersebut, Grup 4 mempresentasikan brand PT Pegadaian dengan positioning statement “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Kelompok ini memilih The Hero sebagai brand persona-nya. Menurut Yolanda, salah satu anggota Grup 4, persona itu dipilih karena Pegadaian bisa memberikan bantuan untuk individu atau bisnis yang membutuhkan dana cepat. Sementara brand promise yang disampaikan adalah “Janji Layanan: 15 Menit Beres”. (rvh)