Jalan Panjang Pembangunan Keberlanjutan
PRINDONESIA.CO | Senin, 08/06/2020 | 7.240
Jalan Panjang Pembangunan Keberlanjutan
Inti dari keberlanjutan adalah adanya keseimbangan kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup
Dok. Istimewa

Oleh: Noke Kiroyan, Chairman & Chief Consultant KIROYAN PARTNERS.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Pada tahun 1970-an, banyak perdebatan antara pendukung perkembangan ekonomi melawan mereka yang menginginkan pelestarian lingkungan yang tidak kunjung selesai. Akhirnya, perdebatan tersebut mengerucut ke dalam salah satu resolusi yang diambil di dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 19 Desember 1983. PBB meresmikan dibentuknya Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan atau World Commission on Environment and Development (WCED) dengan Ketua Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia dan Wakil Ketua Mansour Khalid dari Sudan. Anggota komisi lainnya ada 21 orang, termasuk Dr Emil Salim dari Indonesia.

Nama resmi komisi ini jarang dipakai, orang lebih mengenalnya sebagai “Komisi Brundtland”, sesuai dengan nama wanita Norwegia yang menjadi ketuanya. Hampir empat tahun setelah dibentuk, komisi ini merampungkan pekerjaannya dalam bentuk laporan yang diberi judul “Our Common Future” (Masa Depan Kita Bersama) yang juga dikenal sebagai Laporan Brundtland (Brundtland Report). Intinya adalah advokasi pendekatan baru untuk menyeimbangkan perkembangan ekonomi dengan perlindungan lingkungan hidup melalui konsep yang disebut Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development).

Rumusan Pembangunan Berkelanjutan di dalam Brundtland Report yang menjadi acuan global sampai sekarang adalah “Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa memengaruhi kemampuan generasi-generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka”.

Laporan Brundtland ditindaklanjuti pada 1992 dengan diadakannya Konferensi PBB Tentang Lingkungan dan Pembangunan atau United Nations Conference on Environment and Development (UNCED). Lagi-lagi, nama resmi ini jarang digunakan dan konferensi ini lebih dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) atau Konferensi Rio (Rio Conference). Pertemuan-pertemuan lanjutannya juga dikenal secara informal sebagai “Rio + 10” pada tahun 2002 di Johannesburg dan “Rio + 20” tahun 2012 yang kembali diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil.

“Triple Bottom Line”

Pada 1994, seorang pebisnis merangkap cendekiawan dan pegiat lingkungan di Inggris bernama John Elkington menerjemahkan pembangunan berkelanjutan menjadi triple bottom line. Bottom line adalah istilah informal dalam akuntansi yang merujuk kepada angka terakhir di neraca rugi laba yang bisa plus (untung) atau minus (rugi). Jadi, bottom line mungkin bisa diterjemahkan sebagai kinerja positif dalam Bahasa Indonesia. Istilah ini juga dikenal dengan sebutan economic atau financial bottom line (hasil keuangan atau ekonomi).

John Elkington berpendapat bahwa, bukan saja perusahaan harus membuat hasil positif secara perekonomian, melainkan juga secara sosial dan lingkungan hidup. Karena itulah, dia menyebutnya  triple bottom line. Kemudian, ada pula yang membuat slogan dari triple bottom line menjadi 3P: People, Planet, Profit yang sekarang justru lebih dikenal dibandingkan dengan istilah aslinya triple bottom line.

Jadi, inti dari keberlanjutan atau sustainability adalah adanya keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Kalau ada salah satu unsur yang mendominasi, maka tidak ada keseimbangan lagi yang mengakibatkan keberlanjutan dari suatu usaha terancam. Misalnya, perusahaan sangat memerhatikan persoalan lingkungan dan sosial, namun tidak dijalankan secara ekonomis sehingga merugi berkepanjangan maka usahanya tidak sustainable. Demikian juga perusahaan yang semata-mata mengejar kinerja positif secara ekonomi namun melupakan kelestarian lingkungan dan sosial maka usaha ini juga tidak sustainable.

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas dan  menarik ke konteks Indonesia, maka penekanan kepada “Dana CSR” yang banyak dijumpai secara definisi saja sudah menyalahi kaidah keberlanjutan, karena memberikan penekanan kepada satu unsur saja, sedangkan seharusnya ada keseimbangan antara ketiga unsur yang sudah dijelaskan di atas.

Sustainability atau keberlanjutan sebagai prinsip agak sulit dijabarkan secara operasional kalau tidak ada pedoman yang baku. Ada dua upaya global yang telah menjadi pedoman bagi dunia usaha yang ingin mendukung pembangunan berkelanjutan dengan menjalankan bisnis yang bertanggung jawab sosial. Pertama, adalah United Nations Global Compact yang diresmikan oleh Kofi Annan, Sekretaris Jenderal PBB pada 1999/2000 yang mencakup empat wilayah besar, yaitu Hak Asasi Manusia, Standar Perburuhan, Lingkungan Hidup, dan Anti Korupsi.

Perusahaan atau organisasi yang setuju untuk menerapkannya harus membuat komitmen tertulis, dan di banyak negara termasuk Indonesia ada jejaring perusahaan pendukung yang disebut United Nations Global Compact Network. Ibu Martha Tilaar adalah salah satu di antara 60-an pengusaha dari seluruh dunia yang mengawali komitmen terhadap Global Compact.

Selanjutnya, ada standar internasional yang disebut ISO 26000 tentang Tanggung Jawab Sosial yang sudah diadopsi dan diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia. Di Indonesia, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah memasukkannya ke dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan kode SNI ISO 26000:2013. Khusus bagi perusahaan-perusahaan publik (Tbk) dan BUMN, standar ini wajib menjadi acuan dalam menyusun program-program CSR yang bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. ISO 26000 mencakup enam bidang, yakni Hak Asasi Manusia, Praktik Perburuhan, Lingkungan, Praktik Beroperasi Secara Adil, Isu Konsumen, dan Pengembangan Masyarakat untuk menuju ke sasaran Pembangunan Berkelanjutan.

Pemahaman Mendalam

Pengukuran kinerja berdasarkan prinsip triple bottom line dimungkinkan dengan memakai standar pelaporan yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative, yang juga sudah menjadi acuan untuk perusahaan-perusahaan publik di Indonesia dalam pembuatan laporan tahunannya, yang tidak saja meliputi laporan keuangan, tetapi mencakup juga laporan kinerja di bidang lingkungan hidup dan lingkungan sosial.

Dengan demikian, jelaslah bahwa momentum yang diciptakan oleh Laporan Brundtland dalam beberapa dasawarsa telah berhasil dioperasionalkan. Di samping komitmen-komitmen organisasi atau perusahaan secara individual untuk mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan melalui program-program CSR, ada juga komitmen oleh negara yang diawali oleh MDGs (Millenium Development Goals) yang sejak tahun 2015 telah digantikan oleh SDGs (Sustainable Development Goals). Baik dalam ISO 26000 maupun standar pelaporan GRI, penekananannya ada pada stakeholder engagement, yakni interaksi dengan para pemangku kepentingan, karena merekalah yang paling terdampak oleh dan berdampak kepada upaya pembangunan berkelanjutan oleh masing-masing perusahaan.

Sering dijumpai bahwa dalam laporan berkelanjutan, perusahaan menyebutkan upaya-upaya dalam mendukung pencapaian SDG nomor tertentu di antara 17 sasaran yang telah disepakati bersama seluruh negara anggota PBB.

Kajian-kajian dan telaah mengenai pembangunan berkelanjutan maupun upaya perusahaan secara individual melalui program CSR kemudian kaitannya dengan kegiatan masyarakat, semuanya masuk ke dalam wilayah public affairs. Dengan demikian, perusahaan konsultan yang bergerak dalam public affairs harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang keseluruhan kompleks ini, termasuk stakeholder engagement dan mengomunikasikan komitmen tentang CSR.  

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI