Siapa yang Sebaiknya Jadi Juru Bicara saat Krisis? (Bag 3) Jubir Bisa Dikelompokkan
PRINDONESIA.CO | Kamis, 02/08/2018 | 1.558
Siapa yang Sebaiknya Jadi Juru Bicara saat Krisis? (Bag 3) Jubir Bisa Dikelompokkan
Beberapa orang bisa ditunjuk menjadi jubir
www.hukumonline.com

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Anjari Umarjianto, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Subbag Opini Publik, Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), berkisah tentang pengalamannya ketika ia bersama tim Biro Komunikasi Kemenkes berupaya mengembalikan reputasi dan kredibilitas instansi di mata publik saat itu. “Kami langsung mengadakan konferensi pers dua hari setelah kasus vaksin palsu muncul ke permukaan, tepatnya 24 Juni 2016,” kata Ketua Kompartemen PR & Marketing Perhimpinan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) itu di hadapan peserta workshop PR INDONESIA di Belitung, beberapa waktu lalu.

Saking banyaknya pihak yang terlibat, tak tanggung-tanggung, mereka menghadirkan 12 narasumber dalam konferensi pers tersebut. Sebelum informasi disampaikan ke awak media, Anjari menekankan pentingnya untuk menyamakan pandangan para stakeholders. Sehingga, pada saat Menteri Kesehatan Nila Moeloek memberikan keterangan pers, pihak lain dari Ikatan Dokter Anak Indonesia, Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dan lain sebagainya sudah berada dalam satu resonansi.

Hanya berselang sehari, Kemenkes kembali menggelar konferensi pers yang kedua. Tujuannya untuk memberikan pembaruan informasi atas pernyataannya yang telah disampaikan di konferensi pers sebelumnya. Menkes yang bertindak sebagai juru bicara saat itu menyampaikan informasi yang sifatnya menenangkan publik dan mendorong masyarakat untuk melakukan vaksin ulang, didampingi pihak-pihak terkait.

Lobi

Saat krisis, kata pria yang kembali terpilih sebagai Ketua Perhumasri ini, hal lain yang tak kalah penting dilakukan adalah lobbying. Langkah ini dilakukan Kemenkes kepada Polri. Alasannya, ketika itu banyak media yang mencari perkembangan informasi melalui Polri. “Dalam situasi seperti ini, penting bagi kami untuk menyampaikan perkembangan informasi hanya dari satu pintu. Untuk itu, kami membentuk satgas. Polri setuju terkait hal tersebut,” ujarnya.

Upaya strategis lainnya, tentu saja melobi orang nomor satu di republik ini, Presiden RI Joko Widodo, untuk hadir pada acara pemberian vaksin ulang perdana di Ciracas, Jawa Barat. Dalam situasi seperti ini, Presiden memiliki daya redam paling tinggi ketimbang Menkes. “Lobi memiliki kekuatan luar biasa untuk meredam konflik,” kata Anjari. 

Lalu siapa yang menjadi jubir utama saat krisis? Dalam kasus vaksin palsu, Kemenkes membagi jubir menjadi tiga kelompok. Yakni, jubir utama (Menkes), jubir harian (Kabiro Komunikasi Kemenkes), dan jubir teknis. "Kami mengelola media secara ketat, semua harus melewati ruang Biro Komunikasi. Bukan berarti kami membatasi gerak mereka, justru memfasilitasi tapi dengan narasumber yang tepat," imbuhnya.

Setiap kali jubir memberikan pernyataan harus merujuk pada talking point yang sudah disepakati di awal. Selebihnya, tim akan memberikan sekiranya tiga rekomendasi talking point kepada jubir untuk kemudian dipilih, dikoreksi, bahkan ditambahkan. Selain untuk pegangan juru bicara, talking point juga diperlukan oleh tim media relations, media sosial, hingga tim produksi komunikasi.

Dari pengalaman Kemenkes menangani kasus vaksin palsu, bisa ditarik kesimpulan bahwa Tim Biro Komunikasi Kemenkes mengimplementasikan argumen ketiga Gerard Braud tentang siapa yang sebaiknya menjadi jubir krisis. Pada hari-hari pertama krisis, Anjari dan tim Biro Komunikasi berperan untuk menyatukan suara stakeholders yang hadir dan memberikan keterangan dalam konferensi pers. Selanjutnya, penunjukan jubir yang dibagi menjadi tiga kelompok. Sesuai dengan pendapat Braud, tentu Tim Biro Komunikasi Kemenkes telah mempertimbangkan kematangan orang-orang yang ditunjuk sebagai jubir. (suf)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI