Kode Etik Bikin PR Lebih Bertaji
PRINDONESIA.CO | Jumat, 22/12/2017 | 1.392
Kode Etik Bikin PR Lebih Bertaji
Sudah ada referensi, merealisasikan kode etik PR tidak perlu proses panjang dan rumit.
Freandy/PR INDONESIA

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Tidak seperti profesi lainnya yang memiliki satu kode etik yang berlaku dan diakui secara nasional, public relations (PR) merupakan profesi yang memiliki organisasi bervariasi, sekaligus kode etik yang dikeluarkan oleh masing-masing organisasi tersebut. 

Kondisi ini ternyata memotivasi Suharjo Nugroho, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI), untuk mendorong seluruh stakeholders PR agar merapatkan barisan membuat kode etik profesi PR yang berlaku dan diakui secara nasional. Keberadaannya makin mendesak karena tahun depan Indonesia akan memasuki pesta demokrasi mulai dari pemilihan kepala daerah hingga pemilihan presiden. Belajar dari pengalaman tahun politik sebelumnya, begitu banyak informasi yang simpang siur, mengandung unsur hoaks, hingga fake news beredar.

Di mana peran PR? “Kita semua tahu bahwa masing-masing kandidat itu pasti punya tim kemenangan, pasti ada tim PR-nya. Kalau tidak ada kode etik, sepak terjang tidak ada yang membatasi, ya, semua ‘jurus silat’ bakal dikeluarkan,” kata Jojo, sapaan akrab Suharjo, memberi istilah saat ditemui PR INDONESIA di Jakarta, Kamis (9/11/2017). Tak terkecuali upaya-upaya memelintir berita atau informasi yang sangat bertentangan dengan praktik PR.

Ketika kondisi itu terjadi, strategi memenangkan kandidat dapat berkembang menjadi bola panas yang bergerak liar, bukan hanya bertujuan menjatuhkan lawan, tapi dapat menimbulkan dampak yang lebih serius: mengganggu integritas yang berpotensi memecah belah bangsa. “Ada peran PR di situ,” imbuhnya.

Apalagi, kata dia, di antara pelaku PR itu tidak semuanya berlatar belakang pendidikan PR dan tidak semuanya berorganisasi. “Lantas, nanti dia akan mengikuti kode etik yang mana?” katanya. Sementara di luar pesta politik pun, sehari-hari PR kerap dihadapkan pada kasus yang bersinggungan dan menuai pro-kontra. 

 

Tidak Rumit

Jojo optimistis untuk merealisasikan kode etik PR tidak perlu melalui proses panjang dan rumit. Hal ini dikarenakan sudah ada referensi sebagai acuan. Salah satunya, kode etik yang umum dipakai oleh praktisi PR di luar negeri dan direkomendasikan kepada praktisi PR di seluruh dunia seperti Stockholm Accords dan International Public Relations Association (IPRA). Serta, kode etik yang sudah dirumuskan oleh masing-masing organisasi PR di tanah air.

“Tinggal kita semua—seluruh stakeholder PR, termasuk PR gurus dan organisasi—duduk bareng. Agar semua pihak punya peran dalam merumuskan, melokalisasi sesuai budaya Indonesia dan menyepakatinya,” kata Managing Director Imogen PR ini seraya merujuk salah satu poin yang harus ditambahkan, yakni tentang hoaks dan fake news.

Sementara untuk meminimalisasi ego sektoral atau organisasi, perlu ada peran pemerintah sebagai pihak yang memayungi dan netral. Pemerintah yang dimaksud bisa dari Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kantor Staf Presiden Deputi IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi. Keberadaan mereka sekaligus bertujuan agar kode etik tidak hanya disepakati oleh seluruh stakeholder PR, tapi juga diakui oleh negara.

Adapun isi dari kode etik tersebut nantinya berlaku umum meliputi code of conduct, profession, publication, dan enterprise. “Selanjutnya, silakan masing-masing organisasi membuat code of conduct, namun tetap mengacu pada code of conduct yang sudah disepakati, diakui dan berlaku nasional,” ujarnya. Selain mengatur perilaku PR, kode etik akan membuat profesi ini kian “bergigi” di tengah posisinya yang sedang naik daun. rtn 

 

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI