Arif Mujahidin, Danone Indonesia: Loyalitas PR kepada Perusahaan dan Profesi (Bag. 2)
PRINDONESIA.CO | Rabu, 13/12/2017 | 2.025
Arif Mujahidin, Danone Indonesia: Loyalitas PR kepada Perusahaan dan Profesi (Bag. 2)
Komunikasi harus punya konten. Komunikasi tanpa konten, jadinya hanya “ngecap”.
Hendra/PR Indonesia

Arif Mujahidin - Communications Director Danone Indonesia 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Malang melintang di berbagai sektor industri dan perusahaan multinasional membuat ayah dari dua anak ini memiliki banyak pengalaman dari seni membangun relasi, suka duka mengatasi krisis, hoaks, sampai dinamika PR di industri FMCG. Kepada Ratna Kartika, Ricky Iskandar dan Yoko Hidayat dari PR INDONESIA, Arif berbagi kisah. Berikut ini petikannya. 

 

Di Danone, Anda mengawalinya dari Sarihusada. Seperti apa pengalamannya?

Benar. Sarihusada Danone adalah perusahaan yang memiliki sejarah panjang. Berdiri 54 tahun lalu, perusahaan ini sempat berkali-kali ganti kepemilikan dari pemerintah, BUMN, swasta, sampai akhirnya diambil alih oleh Danone. Tahun 1968, dibangun pabrik di Jogja yang beroperasi sampai sekarang. Produk yang diproduksinya begitu melekat sehingga warga di sana lebih mengenal pabriknya dengan nama pabrik SGM daripada Sarihusada. Padahal dulu pabrik tersebut pernah memproduksi selain produk SGM.

Karena sejarahnya yang panjang itulah, kami memutuskan untuk membuat buku. Di situ diceritakan bagaimana dari bapak sampai anak bekerja di Sarihusada. Dari buku tersebut, kami juga ingin meyakinkan bahwa yang kita lakukan selama ini adalah hal yang baik untuk anak-anak dan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia, merekalah brand ambassador perusahaan.

Selain itu, karena latar belakang saya jurnalis, saya amati, kok, ruang di media-media Indonesia yang membahas terkait gizi sangat kurang. Dari situ tercetus ide untuk membuat program Nutri Talk by Sarihusada. Tujuannya, untuk mengedukasi wartawan dan blogger. Mengapa blogger? Karena kami ingin mengisi ruang di media sosial supaya isinya tidak hoaks terus. Tiap bulan, kami mengundang para ahli mulai dari ahli gizi sampai dokter untuk ngobrol bareng selama satu jam. Saya percaya, suatu pengalaman menjadi tidak terlupakan ketika ada ilmu yang kita rasakan manfaatnya. Jadi, tiap kali bicara Nutri Talk, orang pasti langsung ingat Sarihusada. 

Awalnya, banyak yang tidak paham. “Untuk apa mengurusi program seperti ini? Bikin acara tidak pakai nama perusahaan.” Padahal edukasi seperti ini merupakan investasi perusahaan. Kita edukasi perlahan sampai akhirnya banyak cerita menarik yang bermunculan. Sampai ada wartawan yang mengikuti Nutri Talk selama lima tahun, lalu menjadikannya buku. Inilah sebenarnya sumbangsih profesi PR. Kita bisa memberikan kontribusi luas meski tidak direct impact.  

 

Ketika ditugaskan memimpin Divisi Komunikasi Danone Indonesia, apa yang menjadi concern Anda?

Dalam dua tahun terakhir, Danone melakukan sinergi pada tim komunikasi. Tim yang tadinya terpisah sesuai perusahaan masing-masing (AQUA, Sarihusada, Nutricia), sekarang berkolaborasi menjadi tim Danone di Indonesia di mana saya menjadi pimpinannya.

Yang pertama dan penting dilakukan ketika itu adalah memastikan agar sinergi ini berlangsung baik dan membawa best practice masing-masing perusahaan modal untuk memperkuat tim. Prioritas utama adalah perubahan apa pun harus bisa tetap mendukung bisnis dan memperkuat reputasi perusahaan yang sudah terbangun. Alhamdulillah, kontribusi tim Corporate Communications (corcomm) tetap terjaga dan inisiatif-inisiatif baru terus dilakukan baik ke dalam maupun ke luar.

 

Pesan apa yang Anda tekankan kepada tim?

Kepada tim, saya selalu menekankan untuk terus belajar, mengembangkan diri dan berkontribusi terhadap tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan. Tim PR harus menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.

Untuk itu, mereka harus mengetahui semua supply chain process perusahaan. Apalagi seperti yang tadi saya bilang, Danone dalam dua tahun ini melakukan sinergi pada tim komunikasinya menjadi tim Danone Indonesia. Mereka harus tahu mulai dari ingredients sampai ke meja konsumen, lalu dikonsumsi. Kalau AQUA, istilahnya, from spring to table, sedangkan SGM, from farm to table.

Kalau enggak tahu, ya, jangan sok tahu. Kita harus mencari sumber di mana informasi itu bisa diperoleh. Sumber ini juga, kan, unik. Orang di dalam mungkin tidak paham pekerjaan PR. Dipikirnya, “Ngapain, sih, nanya-nanya?” Inilah alasannya kenapa kita juga harus bisa menjaga hubungan baik ke dalam. 

PR sebenarnya communications expert. Komunikasi harus punya konten. Komunikasi tanpa konten, jadinya hanya “ngecap”. Konten kalau tidak bisa dikomunikasikan, pesannya pun tidak sampai. Agar kita memiliki konten, kita harus belajar untuk memahami semua model bisnis produk perusahaan.

PR juga tidak hanya mengerti konten, tapi tahu mengemas dan menyampaikan pesannya sesuai keperluan dan startegi perusahaan. Ketika menyampaikan pesan PR harus memastikan disampaikan dengan cara apa, kepada siapa, kapan, bagaimana pengemasannya, dan harus akuntabel. Jangan terlalu excited bercerita, malah kebablasan. Karena PR itu, bukan saying what you know, tapi knowing what you say. Kemampuan inilah yang membedakan PR dengan non-PR.

 

Meski sudah melakukan sinergi tim komunikasi, apakah tiap brand memiliki fungsi komunikasi masing-masing?

Iya, tapi communication guidelines-nya tetap ada di kami. Setiap mereka membuat press release, kami bantu mengoreksi dan memberi saran. (rtn)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI