Magdalena Wenas: “Officium Nobile” di Pundak PR (Bag. 1)
PRINDONESIA.CO | Senin, 31/07/2017 | 2.056
Magdalena Wenas:  “Officium Nobile” di Pundak PR (Bag. 1)
Jaga karakter, baru membangun "trust"
Bey/PR Indonesia

Apa yang menurut Anda menarik dari pidato Meryl Streep saat menerima trofi lifetime achievement (The Cecil B. DeMille Award) di ajang Golden Globe waktu itu?

Meryl paham sekali dia sedang berdiri di suatu ajang internasional dan bergengsi. Dia persiapkan apa yang mesti dia sampaikan, dia sindir apa yang perlu dia komentari, tapi dengan cara yang profesional. Dia bilang, "Disrespect invites disrespect; violence incites violence. When the powerful use their position to bully others, we all lose." Intinya, kalau kita tidak bisa menghargai orang, jangan harap kita dihargai orang. Kalau kita suka mem-bully, jangan marah kalau kita di-bully.

 

Dari pernyataan Meryl tadi, apa kaitannya dengan dunia public relations (PR)?

Inilah dunia yang sedang kita hadapi sekarang. Di mana-mana terjadi krisis komunikasi, banyak orang saling mem-bully, merasa diri paling benar. Kita tidak bisa lagi menghargai orang lain—respect thing menurun, sehingga timbul perasaan saling curiga. Dampaknya, trust (kepercayaan) menurun. Hubungannya dengan PR apa? Reputasi. 

 

Sepertinya trust akan menjadi isu manajemen reputasi yang menonjol tahun ini?

Benar. Karena setiap orang punya sudut pandang berbeda-beda, muncullah perception gap yang lebar. Pekerjaan rumah PR jadi makin banyak. Jadi, ketika PR sedang membuat, baik itu program, strategi, maupun ketika sedang menyampaikan statement, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, bukan sekadar dibuat. 

 

Apa yang melatarbelakangi hingga isu ini jadi menonjol?

Perkembangan zaman memungkinkan hal itu terjadi. Saat ini kita hidup di era hyper connected society. Meryl Streep di ujung dunia sana ngomong apa, kita semua tahu. Semua orang dengan mudah terkoneksi dan mendapatkan informasi. Kita, termasuk praktisi PR sebelumnya tidak terbiasa bekerja dengan hyper connected society. Ibaratnya, napas pun kedengaran. Tinggal pilih, di era hyper connected society ini, mau ikut atau tidak? Kalau orang PR wajib hukumnya ikut. Kalau enggak, jangan jadi PR.

 

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh praktisi PR?

Yang harus dilakukan PR adalah menjaga karakter kita, baru kemudian membangun trust. Sementara reputasi itu bicaranya belakangan karena reputasi datang belakangan. Sebab, reputasi itu dibentuk dan tidak harus kinclong. Jika nanti dalam perjalanan kepeleset sedikit, enggak apa-apa. Selanjutnya, diperbaiki—jalannya lebih hati-hati.

 

Seperti apa karakter PR yang dimaksud?

Karakter PR yang berbudaya Indonesia, saling membantu dan ramah. Karakter PR berbudaya Indonesia seperti itu yang sekarang mulai luntur karena terbentuknya masyarakat hyper connected tadi. Karena semuanya bisa dicari lewat Google, ditelepon, atau ditanya lewat Whatsapp, bisa jadi sekarang sama ketua RT di lingkungan rumah aja kita tidak kenal.  

 

Bagaimana dengan krisis komunikasi. Isu krisis komunikasi apa yang menonjol tahun ini? 

Krisis komunikasi jadi sering terjadi karena sikap saling memercayai yang rendah tadi. Maka, perlu pemahaman dari para komunikator untuk menjadi jembatan yang solid. Peran itu bisa berfungsi jika PR menyusun langkah-langkah strategis mulai dari pemahaman management issue sampai melakukan communication audit. rtn

 

 

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI