Wajah Digital PR 2017
PRINDONESIA.CO | Selasa, 24/01/2017 | 3.755
Wajah Digital PR 2017

JAKARTA, PR INDONESIA.CO - Tak hanya di korporasi, lembaga pemerintah pun kini menerapkan electronic PR (e-PR). Selain itu beragam isu seputar trust, krisis, reputasi, dan pengaruh dalam berbagai bidang juga akan menjadi perbincangan di 2017. Jika Anda mengikuti perkembangan media sosial, khususnya Twitter setahun terakhir, tentu Anda familiar dengan sejumlah tanda pagar/hastag program-program pemerintah yang kerap menjadi trending topic atau beragam meme/infografis yang menjelaskan kebijakan-kebijakan terbaru pemerintah.

Ya, electronic PR atau digital PR memang tengah menjadi program serius jajaran government public relations (GPR) melalui Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo. “Kami dari GPR sekarang sedang mengembangkan electronic PR (e-PR), agar bisa mempromosikan semua capaian dan kebijakan pemerintah melalui kanal digital,” kata Dirjen Informasi Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo Rosarita Niken Widiastuti, di Jakarta (16/12/2016).

Niken menambahkan, Digital PR juga akan menjadi tren GPR tahun ini. Di era konvergensi, suka tidak suka siapapun yang ingin pesannya efektif memang harus masuk ke digital. Tak hanya menyebarkan narasi tunggal melalui media sosial, tahun ini Dirjen IKP juga bakal meluncurkan Jaringan Pemberitaan Pemerintah (JPP). Sebuah portal yang dibuat layaknya newsroom untuk mewartakan berbagai pencapaian kinerja dan denyut kegiatan pemerintah.

Dalam diskusi PR INDONESIA Outlook 2017 “How to Win Corporate Credibility & Trust in Disruptive Era” yang berlangsung di Belitung, awal Desember lalu, praktisi PR Kementerian Kesehatan Anjari Umarijanto mengungkapkan, digital PR memang akan makin mendominasi dunia PR tahun 2017. Apalagi menurut data APJI, di Indonesia kini ada 132 juta pengguna internet dan 75 persennya memiliki akun media sosial.

Pria yang rajin nge-blog sejak 2004 itu memprediksi, tahun ini ada lima tren digital PR yang akan berkembang. Pertama,  generasi Z akan menjadi bintang utama. “Kalau organisasi kita ingin ada dalam gelombang informasi yang disruptif ini, maka kita harus mendengarkan dan berkomunikasi dengan cara generasi Z,” kata pria yang sehari-hari menjadi Kepala Opini Publik Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes itu.

Kedua, the power of emotions. Contoh dari tren ini adalah gerakan santri dari Ciamis yang berjalan kaki ke Jakarta untuk mengikuti aksi 212. Mereka melakukan perlawanan dengan cara yang menginspirasi. Tidak mengherankan jika video perjalanan mereka yang diunggah di media sosial menjadi viral. Ketiga, data driven communication. Di era digital PR, meme atau infografis berbasis data akan menjadi perhatian publik. “Jika ingin mencuri perhatian publik, PR harus mampu menciptakan data driven communication. Dengan berbasis data kita juga bisa membuat pesan kunci yang punya kill factor,” katanya.

Keempat, rich media content. Di era digital, kita tidak bisa hanya mengandalkan gaya lama dengan hanya pakai press release. Kini, cara yang lebih efektif adalah dengan memberikan rich media content kepada audiens, mencakup video, foto, teks, dan data yang dikemas dengan sangat bagus.

Kelima, live video. Facebook misalnya kini juga menyediakan layanan live streaming video. Banyak tokoh yang memanfaatkan layanan ini seperti Ridwan Kamil. Dalam waktu real-time ia bisa menjangkau seluruh audiens atau fansnya di Facebook. “Tren ini akan makin banyak digunakan tahun ini,” ujarnya.

 

“The Next Digital Wave”

Digital memang makin mendominasi dunia PR. Hal itu juga diakui oleh Head of PR Indosat Ooredoo Deva Rachman saat menjadi pembicara PR and Social Media Trend 2017 yang digelar PERHUMAS di Auditorium Wisma Antara, Jakarta, Jumat (16/1/2016). Dengan jumlah pegawai dari generasi millennial sebanyak 60 persen, cara berkomunikasi Indosat Ooredoo juga berubah dari cara tradisional menjadi serba digital dan media sosial.

“Di Indosat kami berkomunikasi menggunakan Line dan Whatsapp. Banyak keputusan penting kita buat lewat diskusi di grup Whatsapp. Ini lebih cepat dibanding meeting langsung,” ujarnya seraya mengatakan bahwa kini kita berada di era mobile first philosophy.

Deva memprediksi, tiga tahun lagi pendorong utama perubahan di era digital adalah penetrasi telepon pintar yang akan mencapai 70 persen. Disamping itu, pengguna mobile messenger yang sebanyak 120 juta, lalu pengguna mobile map  95 juta, dan diaplikasikannya internet of things dalam kehidupan sehari-hari. Digital mengubah perilaku kita mulai dari apa yang ditonton, dicari, cara berkomunikasi, dan cara berbelanja. Singkat kata digital life sekarang ada di mana-mana.

“Nah, bagi PR, ada sebagian yang mengatakan bahwa press release telah mati, berganti dengan meme. Menurut saya press release tidak akan hilang, karena media mainstream masih butuh press release. Akan aneh sekali kalau kita kirim meme ke media utama. Bagaimana menulisnya? Ini yang menjadi challenge, sebab industri telco sangat rigid dan tidak semua orang mengerti,” katanya.

Yang bakal menjadi gelombang digital ke depan adalah PR harus punya bisnis model yang kolaboratif baik ke pemerintah, LSM, maupun masyarakat secara luas. Dan, dengan internet of the things, maka bisa terhubung dan memonitor (isu) apapun. Jika dulu setiap pagi kita monitor koran, sekarang memonitor digital.

Tren lain yang perlu diperhatikan PR, lanjut Deva, adalah CEO masih tetap menjadi juru bicara terbaik perusahaan. Influencer lebih dipercaya dibanding PR dan peran kontributor marketing makin menggantikan media konvensional yang terus turun. “Pada akhirnya kita harus tahu bahwa kita harus mengedepankan kejujuran dan etika, sebagaimana profesi lain menjunjung etika,” pungkasnya.

 

Tantangan

Perkembangan digital yang demikian canggih tentu membawa konsekuensi dan tantangan bagi praktisi PR. Menurut Direktur Digital dan Teknologi Burson Marsteller Harry Deje, di tengah membanjirnya informasi di media sosial, praktisi PR harus menempatkan dirinya sebagai publisher. Di samping itu, PR juga perlu memaksimalkan teknologi konten visual yang canggih seperti  virtual reality (VR) dan augmented reality (AR).

PR juga perlu mencermati digital crisis yang sekarang sudah menjadi hal biasa (business as usual) di era digital. PR harus selalu siap dengan issue prepareness, issue management, dan crisis management. Kawinkan strategi handling isu on-line dan off-line.

Diseminasi digital kini memang tak dapat dielakkan, tapi PR harus membuat transformasi digital. Hal itu bisa dilakukan dengan empat langkah. Pertama, praktisi PR mesti meningkatkan kapasitasnya. Kedua, mengetahui bagaimana memaksimalkan kanal dan infrastruktur digital untuk PR. “Salah satu perubahan yang kita lakukan adalah kebutuhan Chief Communication Officer (CCO). Itu sangat membantu sehingga CEO bisa fokus ke bisnis,” katanya.

Ketiga, live and breathe the digital lifestyle. “Kita sebagai orang dewasa, walaupun tidak sepaham dengan generasi millennial, mesti belajar dari mereka. Kita harus bisa menjiwai digital, kalau tidak kita tidak akan bisa berhasil,” ujarnya.

Keempat, jika selama ini PR masih dianggap sebagai supporting function, maka langkah untuk membuat lebih strategis dengan mengintegrasikan atau berkolaborasi dengan divisi lain seperti marketing, sales, finance, dan HRD. “Bagaimana kita menjadi leader untuk integrasikan itu semua menjadi digital. Karena divisi lain tidak punya visi ini. Jadi kita mesti berani maju dan bilang kita akan dukung,” pungkasnya. Hanifudin Mahfuds

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI